Jumat, 05 Maret 2010

Maungkai “ Syair Banjar “

Oleh : Arsyad Indradi

Salah satu bentuk Sastra Banjar adalah “ Syair “. Seperti juga syair dikesastraan Indonsia Lama, Sastra Banjar Syair mempunyai bentuk empat baris setiap baitnya, persajakannya aa-aa dan isinya mengandung hikayat, sejarah, nasihat, pendidikan, percintaan, keagamaan dan dongeng, dan munculnya syair setelah adanya pengaruh agama Islam. Tetapi bedanya media yang digunakan Syair Kesastraan Indonesia Lama, Bahasa Indonesia sedangkan Sastra Banjar Syair, Bahasa Banjar. Disamping itu banyak syair – syair dalam Sastra Banjar ditulis oleh pengarangnya dengan menggunakan tulisan Arab. Sayangnya syair- syair yang ditulis dengan tulisan Arab ini sampai sekarang belum banyak ditulis dengan tulisan Latin. Akibatnya syair – syair Sastra Banjar ini hanya merupakan Koleksi Filologika Museum Negeri Kalsel di Banjarbaru.

Pengarang – pengarang syair yang terkenal pada masa silam antara lain :

1. Haji Pangeran Muda, dizaman Panambahan Sutan Adam ( 1825 ). Ia pengarang ” Syair Mayat “ dan “ Syair Sipatul Golam “.
2. Haji Gusti Ali, pengarang “ Syair Ganda Kasuma “ dan “ Syair Brahma Syahdan “.
3. Haji Umi, seorang wanita, anak dari Kiai Tumanggung Kartanagara di Barabai ( Hulu Sungai Tengah ).Pengarang “ Syair Ringgit “.
4. Kiai Mas Akhmad Dipura, pengarang “ Syair Tajul Muluk “.
5. Haji Airmas, pengarang “ Syair Roko Amberi “.

Sebenarnya banyak syair – syair yang tempo dulu sangat populer dalam masyarakat Banjar, karena sering diadakan pembacaan syair. Pembacaan syair ini dikenal dengan basyasyairan . Syair – syair yang dibacakan itu antara lain : Syair Surat Tarasul, Syair Siti Jabidah, Syair Indra Bumaya, Syair Khabar Kiamat, Syair Panji Kasmaran, Syair Brahma Sahdan, Syair Ratu Kuripan “ dan lain – lain.
Kalau kita hayati basyasyairan ini, sebenarnya tak kalah menariknya dengan pertunjukan musik atau lagu – lagu modern seperti lagu pop mau pun dangdut. Sebab basyasyairan ini mempunyai variasi lagu yang dinamakan lagu Hujan Panas, lagu hujan garimis, lagu tingkalung sangkut ( sibuang anak ) dan lain – lain.
Basyasyairan ini menjadi tradisi bagi Museum Lambung Mangkurat Banjarbaru pada acara ulang tahun museum baik berupa lomba atau pun festival membaca syair.
Ada beberapa saran untuk lembaga yang terkait seperti Dewan Kesenian, Disbudpar, Disdik maupun komunitas sastra untuk mengadakan pertunjukan basyasyairan pada even – even tertentu seperti perayaan hari – hari besar baik daerah naupun nasioanal dan menyelenggarakan pelatihan atau work shop Basyasyairan agar tetap langgeng dan lestarinya Sastra Banjar Syair di Tanah Banjar. Tampaknya, “ basyasyairan “ sudah kian terlupakan oleh masyarakat Banjar. Semoga kita anak babangsa peduli dan mencintai Seni Budaya Daerahnya.